Monthly Archives: Oktober 2012

Manusia dan Cinta Kasih

Standar

Jangan tanyakan, kapankah cinta terlahir di dunia? (Mungkin lebih dari dua ratus tahun sebelum Adam diciptakan Tuhan di surga). Tetapi tanyakan, kapankah cinta hadir di hati manusia? Jawabnya, saat sepenggal jiwa merentas dipermukaan surga, kesunyian pun menyentil hatinya.

Ketika cinta memanggilmu, ikutilah dia, walau jalannya terjadi berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkulmu, pasrah dan menyerahlah kepadanya walau pedang yang tersembunyi di sayap itu melukaimu. Dan jika dia bicara padamu percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan. (Kahlil Gibran).

Sumber prolog : Buku “Ketika cinta memanggilmu”

CINTA TAK PERNAH SALAH

Setelah kami dewasa, cinta tumbuh diantara kami sampai menjadi pemilik mutlak, yang kami layani dengan kasih sayang dari kedua hati kami. Cinta menghela kami kepadanya, dan kami memuliakannya dalam jiwa kami yang paling dalam, dan cinta merangkul kami (Kahlil Gibran). Dia adalah Thiyari Adhelia, seorang gadis berparas cantik, berkulit putih, dan memiliki senyum yang manis. Selain itu, dia adalah sosok gadis yang bersahaja dan cerdas. Oleh sebab itu dia banyak dikagumi para kaum pria disekolahnya. Adhel, begitu orang biasa menyapanya. Adhel bercita-cita ingin menjadi seorang psikolog karena memang dari sejak SMP Adhel menyukai hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan amat suka mendengarkan curhatan teman-temannya lalu memberi nasihat dan solusi. Namun, orang tua Adhel tidak mengizinkannya untuk masuk fakultas psikologi, “Lah kamu mau masuk psikologi nantinya mau jadi apa? Mendingan ngambil akuntansi terus kerja di Bank tuh, gajinya gede.” Begitulah kalimat yang selalu diucapkan oleh kedua orang tuanya. Selain itu, orang tua Adhel tidak mengizinkan Adhel untuk kuliah diluar Bogor, mereka khawatir terjadi apa-apa dengan Adhel karena Adhel adalah seorang perempuan. Kini Adhel duduk dibangku kelas 3SMA disebuah sekolah negeri di Bogor. Pada saat itu, orang tua Adhel masih belum memberi izin Adhel untuk memiliki hubungan khusus dengan seorang lelaki. Namun Adhel tetap memiliki kekasih tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ketika itu Adhel baru saja putus dengan kekasihnya, dengan alasan Adhel bosan dengan hubungannya. Adhel memang seorang gadis yang mudah bosan terutama dengan seorang lelaki.

Pada bulan Oktober tahun 2011, di sekolah Adhel diadakan UTS. Dan ternyata hasil UTS Adhel sangat tidak memuaskan, nilai Adhel dibawah rata rata, tentunya orang tua Adhel marah besar terutama ayahnya. Dibantingnya kertas hasil UTS Adhel di meja ruang tamu. “Apa-apaan ini? Pasti kamu punya pacar kan? Dan pacar kamu pasti mengganggu waktu belajar kamu! Iya kan?” Ayah marah besar. “Aku ngga punya pacar ayah.” Jawab Adhel sambil meneteskan air matanya. “Sudah yah, jangan terlalu menekan Adhel.” Lanjut bunda bijak. Ayah pun meninggalkan ruang tamu. Adhel memeluk bundanya dengan erat. “Maafin Adhel bunda.” Tak kuat menahan tangis. “Sudah sayang, lebih baik mulai sekarang kamu fokus sama sekolah kamu, belajar yang rajin supaya bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri di Bogor, bentar lagi kan kamu lulus, setelah kamu lulus kamu baru boleh pacaran.” Mengelus-ngelus rambut Adhel sembari menenangkan Adhel. Adhel pun langsung berdiri dan bergegas ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bundanya terkejut “Adheeeel..” bunda menggelengkan kepalanya.

Dikamar, Adhel hanya bisa termenung dan berdiam diri “Aku ngga mau masuk Pergururan Tinggi yang ada di Bogor bund, disana ngga ada jurusan yang aku minati, kapan kalian bisa ngerti” Adhel mengeluh dan terus menangis. Tak lama bunda mengetuk pintu kamar Adhel, “Adhel, buka pintunya sayang, bunda sama ayah mau bicara baik baik sama kamu.” Adhel pun membuka pintu kamarnya. “Ayah sudah membuat keputusan, kamu harus mengikuti bimbingan belajar di luar. Ayah harap kamu tidak akan menolak hal ini.” Ayah tegas. “Tapi yah, mulai bulan depan disekolah Adhel juga ada bimbel tambahan.” Bantah Adhel. “Bimbel itukan pasti sepulang sekolah, dan sepulang bimbel kamu harus ikut bimbel lagi diluar, ayah akan mendaftarkan kamu ditempat bimbel itu.” Pergi keluar kamar. Adhel kembali menangis “Bunda aku capeeee.” Keluh Adhel. “Kan belum dijalani sayang, masa udah ngeluh, bunda kaya gini karna bunda sama ayah sayang sama kamu.” Jawab bunda sembari tersenyum. “Tinggalin Adhel sendiri buuuund.” Terus menangis, “Yaudah kamu istirahat aja yah sayang.” Bunda meninggalkan kamar Adhel. “Kalo bunda sama ayah sayang sama aku, bunda sama ayah harusnya ngasih aku kebebasan dalam memilih Universitas.” Dumel Adhel.

Hari ini adalah hari pertama Adhel mengikuti bimbingan belajar di luar, dalam program bimbingan belajar tersebut ada tes diagnostik dimana para siswa yang baru masuk harus mengikuti tes tersebut. Adhel yang memang sudah tidak minat untuk mengikuti bimbingan itu bertambah kesal dengan adanya tes yang amat rumit pengerjaannya. Namun Adhel tetap berusaha mengerjakan soal tersebut. Setelah soal itu hampir beres dikerjakan, Adhel melakukan sedikit peregangan untuk merilekskan badannya. Dan ketika dia melihat kepintu masuk dikelasnya ada sosok lelaki muda nan tampan hendak masuk kekelasnya. Adhel tertegun sejenak, tanpa ia sadari lelaki itu telah sampai tepat dihadapannya karena memang Adhel duduk paling depan. “Ini kelas 12 IPA kan?” Tanya lelaki itu. Adhel hanya mengangguk dan masih tertegun. “Tapi kok ngga ada muridnya? Masa cuma kamu doang?” Adhel pun mulai tersadar “Hah? Emang kaka siapa? Tanya Adhel. “Saya yang mau mengajar biologi, saya mengganti guru yang tidak bisa hadir hari ini.” Jawab lelaki itu sopan. “Ouuuh, kaka yang ngajar disini? Kirain aku kaka mau bimbel juga sama aku hehe, eeemmhh mereka belum dateng kali ka, kan emang masuknya jam setengah empat.” Adhel mulai salting. “Terus kamu kok udah ada disini?” Tanya lelaki itu keheranan. “Aku ada tes diagnostik ka, jadi duluan deeeh.” Adhel mengeluarkan senyuman manisnya. Lelaki itupun menganggukan kepalanya sambil tersenyum membalas senyuman Adhel. Dalam benak Adhel berkata, “Manis bangeeet senyumnyaaaaa.”

Jam pun menunjukan pukul 15.30, pembelajaran pun dimulai. Pandangan Adhel tak lepas dari lelaki yang sedang mengajarnya itu, lelaki itu memperkenalkan dirinya. Ia bernama Dodhi. Senyumnya yang manis membuat Adhel terpukau dan larut dalam lamunan. “Hey, lo murid baru yah.” Tanya seorang gadis yang berada disamping Adhel yang juga mengejutkan Adhel. “Hah? Iyah iyah gue murid baru hehe nama lo siapa? Tanya Adhel yang terkejut. “Lo kenapa? Biasa aja kali, gue Wila.” Menyodorkan tangannya sambil tersenyum pada Adhel. “Ah emang gue kenapa? Biasa aja ah. Adhel.” Merekapun berjabat tangan. Itulah teman pertama Adhel ditempat bimbingan belajarnya. “Lo suka yah sama dia?” Tanya Wila sambil mencolek Adhel. “Hah? Enggaaaa, sok tau lo hahaha.” Adhel salting. “Ciyeeeee.” Ledek Wila. “Sst perhatiin dia, ngga boleh ngobrol.” Bisik Adhel sambil menjulurkan lidahnya. Merekapun kembali memperhatikan Dodhi yang sedang mengajar “Biologi itu gampang-gampang susah, kita itu harus mengerti dan membuat jembatan keledai.” Dodhi menyebutkan kata jembatan menunjuk pada dirinya dan menyebutkan kata keledai menunjuk kearah Adhel. Adhel sangat terkejut, terlebih ketika Dodhi menyebutkan kata itu berulang-ulang. Anak-anak lainnya tertawa, Namun Adhel hanya terdiam dan terkejut. Diakhir pembelajaran Dodhi bertanya, “Biasanya guru-guru disini suka ngasih nomer handphone ngga kalo abis ngajar?” Adhel spontan menjawab “Suka ka suka ngasih.” Sambil tersenyum. Padahal Adhel sendiri baru masuk bimbel. Dodhi pun menuliskan nomer handphonenya dipapan tulis. Adhel segera mencatat nomer handphone Dodhi. “Pinjem pulpennya dong buat tanda tangan absen.” Lanjut Dodhi pada Adhel. “Dengan sigap Adhel memberikan pulpen pada Dodhi. Jam pun menunjukan pukul setengah enam, pertanda jam bimbingan telah usai. Adhel pun pulang, pulpen yang tadi dipinjam oleh Dodhi disimpannya dengan rapi dan dibungkus tissue. Dipandanginya terus pulpen yang telah terbalut tissue sembil senyam-senyum membayangkan Dodhi. Ketika tiba di rumah, Adhel langsung menghampiri ayahnya yang sedang duduk di bangku di teras depan rumahnya. “Makasih yah ayahku yang ganteeeeng.“ Adhel memeluk ayahnya. “Kamu kenapa?” Tanya ayah keheranan. “Aku sayang ayah.” Memeluk ayahnya dengan erat. “Iya-iya ayah juga sayang sama kamu, makanya kamu belajar yang rajin supaya bisa diterima di Universitas Negeri di Bogor tuh, yang deket biar ga jauh-jauh lah dari orang tua. Jadi ayah bisa terus ngontrol kamu.” Ayah menasehati Adhel dengan bijak. Adhel pun langsung melepas pelukannya. “Heeeeeeeeem.” Adhel melirik ayahnya dan segera masuk ke dalam rumah. “Aneh banget sih tuh anak.” Dumel ayah.

Seperti biasa, kerjaan Adhel hanya mengurung diri di kamar, untuk kali ini Adhel tak hanya berdiam diri melainkan memandangi pulpen yang terbalut tissue yang telah dipinjam Dodhi tadi. Adhel pun baru menyadari bahwa tadi dia sempat menyimpan nomer handphone Dodhi. Adhel langsung mengambil handphonenya dan mulai mengetik sms “Assalamu’alaikum ka, maaf ganggu. Aku mau nanya dong bedanya petir sama gludug itu apa yah ka? Makasi J Begitulah isi sms dari Adhel untuk kaka yang dikaguminya. Berjam-jam Adhel menunggu balasan dari Dodhi, namun handphonenya masih belum berbunyi yang menandakan sms masuk. Gundah, resah itulah yang dirasakan oleh Adhel pada saat itu.

Keesokan harinya, ketika Adhel baru masuk ruang kelas Adhel sudah memasang wajah murung. Sahabat-sahabat Adhel pun segera menghampiri Adhel, “Lo kenapa Dhel?” Tanya Susan. “Iya, pagi-pagi kok udah murung?” Lanjut Indri. Adhel pun menceritakan semua yang telah terjadi padanya. Kedua sahabatnya tertawa terbahak-bahak. “Tumben lo langsung suka gitu? Bentar lagi juga bosen, udah lupain aja.” Ledek Susan. “Tapi kali ini gue serius, dia beda sama cowo laen, dia cuek dan gue suka.” Tegas Adhel. “Adheeel, please deeh lo ngomong kaya gini tuh ngga cuma sekali dua kali, setiap lo suka sama cowo lo tuh pasti ngomongnya kaya giniiii.” Lanjut Indri. “Tapi untuk kali ini gue beneran seriuuus, dua rius deeeh , tiga rius apaaaa?” Adhel mempertegas. “Udah lah Dhel, lo tuh udah sering banget nyakitin cowo, udah mendingan lo tuh jangan deketin cowo dulu deeeeh, kasian cowo-cowonyaaaa.” Indri menasehati Adhel. “Eh tapi tunggu, gue jadi penasaran cowonya kaya gimana sih?” Tanya Susan. “Nah itu diaaaa, lo berdua harus tau duluuuuu, yang inimah ngga akan gagal, dijamin deeeh.” Adhel meyakinkan kedua temannya. “Iyah ngga akan gagal orangnya, tapi cinta lo kedia yang bakalan gagal soalnya dia ngga mau sama lo hahahaha.” Ledek Susan sambil tertawa puas, Indri pun ikut tertawa. “Ih jahat banget sih kalian berdua. Bukannya nyemangatin gue malah nyumpahin gue.” Adhel mulai kesal. “Adhel yang cantiiiiik, maniiiis, gue tuh bakalan nyemangatin lo terus, nyemangatin buat masuk Universitas Negeri di Bogor tuuuuh hahahahaha.” Susan terus meledek Adhel. “Parah lo kasian anak orang haha.” Indri membela Adhel. “Tau lo jahat banget sama gue. Bukannya gue engga mau masuk Universitas itu, kalo aja disitu ada jurusan yang gue minati, gue juga bakalan mauuuuu.” Tegas Adhel. “Iya-iya gue ngerti, menurut gue nih yah kenapa lo tu ngga terus aja yakinin bokap nyokap lo, daripada entar nyesel hayooo.” Lanjut Susan. “Ya ampun Susaaaan udah berpuluh-puluh kali gue tuh ngomong kaya gitu, tapi apa hasilnya? Nihil tau ngga? Mereka tetep egois dengan alesan ngga bisa ngelepas gue kalo gue ampe kuliah diluar Bogor.” Adhel termenung. “Tuh kaaaan, Adhelnya sedih lagiii, cup cup jangan sedih yah cintakuuuuu.” Hibur Indri. “Eh emang ka Dodhi lo itu kuliah dimana? Kenapa lo ngga konsul aja sama dia, yah itung-itung usaha.” Susan memberi pendapat. “Tumben lo pinter hahaha, ide yang bagus, oke gue coba. Bel pun berbunyi, Adhel dan kedua sahabatnya masuk kelas dan memulai pelajaran.

Malam harinya, ketika Adhel sedang melakukan kebiasaannya dengan berdiam diri di kamar, handphonenya berbunyi. Dengan santainya Adhel membuka handphonenya dan ada sebuah pesan baru, dibukanya pesan itu dan betapa terkejutnya Adhel ketika melihat ternyata ka Dodhi lah yang mengirim sms. Adhel terkejut dan terbangun dari posisi berbaringnya. “Haaaaah? Ka Dodhiiiiiii….. aaaaaaaaaaaaaaaa” Adhel melompat-lompat dikasurnya. Tanpa ia sadari suaranya terdengar oleh bundanya. “Adheeeel, kamu lagi ngapain?” Tanya bunda dari ruangan lain. Adhel pun berhenti sejenak, “Ngga ngapa-ngapain buuuund.” Adhel pun duduk kembali dan mulai membuka sms. “Assalamu’alaikum, maaf ini siapa yah? Kemarin smsnya tidak ada namanya jadi saya tidak tau. Maaf juga baru bales smsnya karna saya baru sempet bales. Aduuuh itu lebih ke fisika sih sebenarnya, hehe” Begitulah isi sms dari Dodhi. “Yaelaaah baku bener nih orang. Tapi ngga apa-apa deh yang penting ganteng hahahaha.” Adhel berbicara sendiri. Dari situlah Adhel mulai smsan dengan Dodhi, lelaki yang dikaguminya. Tak jarang juga Adhel meminta Dodhi untuk membantunya mengerjakan tugas. Dodhi adalah mahasiswa dari Universitas Negeri di Bogor dengan jurusan ahli gizi. Setelah Adhel dan Dodhi berbagi cerita, Adhel mulai tertarik untuk masuk Universitas itu. Dan mulai berusaha untuk bisa masuk Universitas itu. Sebenarnya Dodhi tak pernah membalas sms lebih dari 3x, namun itu yang membuat Adhel semakin penasaran dan Adhel terus berusaha untuk mendekati Dodhi. Padahal teman-temananya sudah sering kali menyuruh Adhel untuk melupakan Dodhi dan membuka hati untuk lelaki lain, namun Adhel tak pernah bisa melupakan Dodhi. Selama enam bulan, Adhel terus larut dalam sebuah perasaan yang bisa dibilang tak terbalaskan. Usaha Adhel untuk terus mendekati Dodhi juga nihil, karna Dodhi tetap saja acuh pada Adhel. Tak jarang Adhel menangis karena keadaan yang tak ada ubahnya. Sepertinya pernyataan Cinta yang dibasuh oleh air mata akan tetap murni dan indah senantiasa (Kahlil Gibran) tak akan sama presepsinya dengan apa yang dirasakan oleh Adhel. Puncaknya ketika Adhel mengetahui bahwa Dodhi telah memiliki seorang kekasih, dan Adhel mengetahui hal itu langsung dari Dodhi ketika mereka sedang smsan. Di sekolah, Adhel bercerita pada kedua sahabatnya itu, Adhel mengeluarkan semua unek-unek yang sudah dipendam selama enam bulan. “Kalian berdua engga ngerasainkan apa yang gue rasain!!!!! Gue sakiiiiiit, gue mendem perasaan ini selama enam bulan dan ini hasil yang gue dapeeeeet, dan dengan enaknya dia jujur sama gueeeee, gue sakiiiiiiit!!!!! Memang baru kali ini Adhel begitu terpuruk hingga membuat kedua sahabatnya tak bisa berkata-kata lagi. “Dhel, coba yah mulai sekarang lo buka hati lo buat cowo laen, supaya lo ga gini terus.” Indri mencoba menenangkan Adhel. “Gue udah nyoba Ndri, tapi gaada cowo yang bisa ngegantiin posisi dia dihati gueee.” Jawab Adhel sambil terus meneteskan air mata. “Belum Dhel, bukan ngga bisa. Mana Adhel gue yang dulu? Adhel yang selalu ceria, yang ngga pernah sampe terpuruk kaya gini.” Lanjut Susan. Adhel tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya mampu menahan haru dan langsung memeluk kedua sahabatnya dan berkata, “Gue sayang kalian berdua, gue ngga mau pisah sama kalian berdua.” Seorang sahabat adalah kado yang anda berikan kepada diri anda sendiri (R.L Stevenson). Selain bercerita pada dua sahabatnya di sekolah, Adhel juga menceritakan hal ini pada Wila sahabat ditempat bimbingan belajarnya dan pada Erin sahabat dirumahnya.

Kini, Adhel sudah mulai ingin melupakan Dodhi, ia mulai membuka hatinya untuk lelaki lain. Meskipun ia sebenarnya masih belum bisa melupakan Dodhi, dan tekadnya untuk bisa masuk Universitas Negeri di Bogor dan mengambil jurusan ahli gizi tak tergoyahkan. Ia terus fokus demi mencapai apa yang diinginkannya meskipun inspirasi dari apa yang diinginkannya itu tak bisa ada disampingnya dan memberi semangat padanya. Adhel tetap mengikuti bimbingan belajar diluar karna sudah semakin dekat dengan Ujian Nasional, Dodhi sudah tak pernah mengajar lagi karna dia sudah wisuda dan tidak tinggal di Bogor lagi. Suatu hari seperti biasa pada pukul setengah enam sore, ketika Adhel hendak pulang dari tempat bimbingan belajar, ada seorang lelaki bertubuh tinggi semampai, memakai jaket kulit dan berkulit hitam manis yang sedang duduk dimotornya yang terus memperhatikan Adhel. Namun ketika Adhel berjalan hendak naek angkot, lelaki itu menyalakan motornya dan berhenti tepat dihadapan Adhel. Adhel terkejut bukan main, “Lo siapa?” Tanya Adhel. “Lelaki itu membuka helm yang dikenakannya dan menyodorkan tangannya sembari menyebutkan namanya. “Adit” memberi senyuman pada Adhel, senyumannya manis namun tak membuat Adhel terpikat, justru Adhel masih tercengang dan tak membalas untuk berjabat tangan dan berkenalan. “Lo tuh siapa sih?” Tanya Adhel lagi. “Gue temennya Erin, gue kenal lo dari Erin.” Jawab lelaki itu sopan. “Lah terus apa hubungannya sama gue?” Adhel mulai ketus. “Yaaaaah intinya gue pengen kita kenal.” Lelaki itu tetap mencoba untuk meluluhkan Adhel. “Ngga jelas banget sih.” Adhel pun meninggalkan Adit dan bergegas pulang. Ketika Adhel turun dari angkot disebrang gang rumahnya, Adhel terkejut ketika melihat lelaki itu ada digang rumah Adhel. Adhel menarik nafas sambil menggelengkan kepalanya lalu menyebrang dan menghampiri lelaki itu, “Mau lo tuh apa sih?” Tanya Adhel yang semakin ketus. “Gue cuma pengen mastiin lo udah nyampe gang rumah lo, karna niat gue tadi itu pengen nganterin lo pulang. Salam kenal Adhel.” Tersenyum dan menyalakan motornya lalu memutar arah dan pulang. Adhel masih tertegun dengan kata-kata terakhir Adit. “Ya ampuuun kenapa sih gue judes banget sama dia, padahal kan dia punya niat baik sama gue.” Adhel merasa bersalah. Adhel tak langsung pulang, karena rumahnya dekat dengan rumah Erin maka Adhel pergi kerumah Erin. Sesampainya disana, Adhel pun langsung menemui Erin, Adhel langsung memandang Erin dengan penuh arti. Erin hanya tertawa geli melihat pandangan Adhel. “Kenapa? Kaget ada yang tiba-tiba nyamperin terus nganterin lo balik? Erin memperjelas. “Sumpah ini konyol!! Apa-apaan coba lo kaya gitu? Ngga jelas Eriiiin. Dimana-mana tuh orang smsan dulu kek, baru ketemuan gitu, inimah tiba-tiba nyamperin. Gimana gue ngga shock coba.” Duduk dikasur Erin. “Ouuuuuh jadi Adhel maunya smsan sama Adiiiit, ngga masalah Dhel, entar gue bilangin kedia.” Tersenyum sambil terus meledek Adhel. “Eh bukan gitu juga maksud gueeeee, ih gimana sih loooo!! gatau ah pusing gue. Terus tuh orang kenapa bisa tau gue? Padahal kan belum pernah ketemu gue.” Tanya Adhel penasaran. “Yah foto lah Adheeeel, gini niiih gue lagi buka twitter terus gue kasih liat foto lo deeeh.” Erin menjelaskan pada Adhel. “Haaaah? Lo kata gue cewe apaan lo maen kenal-kenalin gue lewat foto gitu.” Adhel berdiri dan bertolak pinggang. “Adhel sayaaaang, tenang aja dia tuh cowo baik-baik kok, dia temen sekelas gue jadi bisa gue pantau. Yaaah daripada lo sama ka Dodhi yang ngga jelas itu.” Erin pun berdiri dan merangkul Adhel. Adhel hanya menoleh kearah Erin. “Coba dulu yah, dia baik kok orangnya.” Meyakinkan Adhel. “Gimana entar deh yah dia bisa ngeluluhin hati gue apa engga, gue balik yah gue cape.” Adhel pun pulang.

Adit terus berusaha untuk meluluhkan hati Adhel, dengan menelpon Adhel, memberi perhatian yang lebih, mengantar jemput kemana pun Adhel mau, dia selalu hadir ketika Adhel merasa kesepian, dia juga tahu kalau Adhel suka coklat dan ice cream, dan setiap bertemu Adhel selalu mendapat coklat dan ice cream dari Adit. Adit telah menumbuhkan tawa baru dihidup Adhel. Memberi sebuah kenyamanan dan mulai bisa menggantikan posisi Dodhi. Kini hari-hari Adhel telah dipenuhi dengan warna-warna yang indah, cinta yang baru dan semangat baru. Adhel mengikuti Ujian Nasional dengan penuh semangat. Setelah Ujian Nasional telah usai, Adhel tetap mengikuti bimbingan belajar untuk program SNMPTN bersama Wila teman pertama dan menjadi sahabatnya ditempat bimbingan itu. Hingga suatu hari ketika Adhel berada ditempat bimbingan belajarnya Adhel menceritakan tentang Adit pada Wila. Dan tak disangka-sangka Wila mengenal Adit. “Iyah gue kenal Adit, dulu gue pernah deket sama temennya Adit. Dan gue pernah jalan bareng juga sama Adit dan temennya juga. Tapiiiii….” Wila tidak meneruskan perkataannya. “Tapiiiiii….?” Adhel penasaran. “Eeeemmmhhh, gimana yah Dhel?” Wila ragu. “Wil, kenapaaaaa? Jangan bikin gue penasaran.” Adhel memegang tangan Wila. “Tapi gue ngga tau yah ini bener apa engga. Yah mungkin ini dulu dan sekarang udah engga…..” Belum sempat meneruskan pembicaraannya Adhel sudah memotong pembicaraan Wila. “Wil, please jangan bertele-tele. Cepet kasih tau gue.” Pikiran Adhel sudah tak karuan. “Maafin gue, gue ngga ada maksud apa-apa. Cuma setau gue Adit itu udah punya cewe Dhel.” Wila menatap mata Adhel, Adhel terkejut bukan main dan mulai meneteskan air matanya. “Dhel, mungkin itu dulu dan sekarang udah engga. Yah mungkin sekarang dia jomblo makanya dia ngedeketin lo. Denger cerita lo tadi, kayanya dia serius sama lo.” Wila mencoba menenangkan Adhel. Adhel hanya tersenyum dan mengusap air matanya. “Kalo emang dia yang terbaik buat gue, jalannya pasti akan dimudahkan. Namun jika dipersulit, itu berarti dia bukan yang terbaik buat gue.” Wila pun memeluk Adhel untuk menenangkannya.

Adhel terus mencari tahu kebenarannya, awalnya Adit memang tidak mengakui bahkan Adhel sempat percaya akan hal itu. Namun kali ini berita datang dari orang yang memperkenalkan Adhel dengan Adit, yaitu Erin. Dan ketika Adit diminta untuk menjelaskan kembali, kali ini Adit jujur bahwa ternyata memang benar Adit memiliki kekasih, namun dari pengakuan Adit, hubungan Adit dan kekasihnya itu sudah renggang dan diujung tanduk, maka dari itu Adit mendekati Adhel. Dan ketika Adit sudah mulai nyaman dengan Adhel dan memang Adit menyayangi Adhel, hubungannya dengan kekasihnya membaik. Itu yang membuat Adit bingung harus memilih siapa, karena Adit tidak tega memutuskan hubungan dengan kekasihnya demi mendapatkan Adhel, akhirnya dengan berat hati Adit lebih memilih kekasihnya. Awalnya Adit meminta untuk tidak berpisah dengan Adhel, alasannya karena Adit lebih sayang pada Adhel dibanding pada kekasihnya, namun Adhel tidak mau merusak hubungan Adit dan kekasihnya, sehingga Adhel memutuskan untuk pergi dari kehidupan Adit. Sungguh hal yang paling menyakitkan bagi Adhel yang baru saja bangkit dari keterpurukannya dan pada akhirnya harus kembali jatuh, namun untuk kali ini Adhel jatuh pada seorang lelaki yang telah mampu membangkitkannya dari keterpurukan itu. “Mungkin ini karma bagi gue yang selama ini selalu nyia-nyiain orang yang tulus sama gue, mulai sekarang gue ngga akan liat kebelekang lagi, gue bakalan buka lembaran baru, gue akan lebih fokus sama masa depan gue. Dan kelak ketika cinta datang menghampiri gue, gue ngga akan nyia-nyiain hal itu. Gue ngga akan lagi memperlakukan cowo semena-mena.” Gumam Adhel menyemangati dirinya sendiri.

Menurut pepatah Sahabat sejati menaruh kasihan setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran,begitu pula yang dialami oleh Adhel. Sahabat-sahabatnya selalu berusaha untuk menyemangati Adhel, menghibur dan selalu ada untuk Adhel. Adhel tetap bersemangat untuk mengikuti SNMPTN demi membahagiakan orang tuanya. Cita-citanya untuk menjadi seorang psikolog telah dikuburnya dalam-dalam demi mewujudkan apa yang diimpikan oleh orang tuanya.

Tibalah saatnya pengumuman kelulusan, Adhel pun lulus dengan nilai yang memuaskan. Pada bulan mei tahun 2012 tepatnya pada tanggal 15, Sekolah Adhel mengadakan acara perpisahan untuk angkatan Adhel. Adhel dan dua sahabatnya akan menampilkan sebuah tarian berupa modern dance berpasangan yang tentunya akan dilihat oleh orang tua mereka. Penampilan Adhel dan teman-temannya membuat para penonton terpukau, hampir semua penonton merekam gerakan mereka. Adhel dan teman-temannya pun cukup puas dengan penampilan mereka. Setelah usai, Adhel pun turun panggung dan ketika itu ada seorang gadis kecil yang cantik nan lucu menghampirinya dan memberinya sebuah bunga. “Ini bunga yang indah buat kaka yang cantik.” Sambil menyodorkan bunga mawar merah yang indah lalu tersenyum dengan wajah polosnya. Adhel  terkejut bukan main, membalas senyuman gadis kecil itu dan duduk setengah jongkok menyamaratakan tingginya dengan gadis kecil itu. “Ini dari siapa cantik?” Adhel mengambil bunga mawar yang ada ditangan gadis itu dan memegang dagunya. “Dari kaka ganteng yang selama sebulan ini mengagumi kaka cantik.” Tersenyum dan berlari meninggalkan Adhel. “Heeeeyy tunggu duluuuu….” Adhel berusaha mengejar gadis kecil itu, namun karena ruangan itu dikerumuni oleh banyak orang dan gadis itu amat kecil jadi Adhel kehilangan jejaknya. Adhel pun memandangi bunga mawar yang ada digenggamannya. Lalu Adhel menghampiri Indri dan Susan. “Ciyeee ada penggemar rahasia nih rupanya.” Ledek Indri. “Ah pasti lo ngenal-ngenalin gue ketemen lo yah, dan ini pasti dari temen lo! Iyakan? Kaya Erin aja lo ah, ngga suka gueeee. Udah kapok!” Tuduh Adhel pada Indri. “Enak aja lo maen tuduh-tuduh orang sembarangan, orang gue kaga tau apa-apa. Parno yah parno aja jangan maen tuduh orang tuduh orang gitu dong.” Bantah Indri. “Lo pasti yaaah? Ngakuuu!” Kali ini Adhel menunjuk kearah Susan. “Yeeeeey gue kaga tau apa-apa juga. Lo kenapa sih? Yaudah anggep aja itu pengagum rahasia lo.” Jawab Susan acuh yang sedang fokus dengan handphone yang ada digenggamannya. “Ngga! Ngga ada yang namanya pengagum rahasia! Ngga ada bunga, ngga ada coklat! Ngga ada semuanya!” Adhel membuang bunga mawar itu, meninggalkan Susan dan Indri lalu pergi kebelekang gedung. Susan dan Indri saling pandang-memandang, menggelengkan kepala dan menarik nafas lalu berdiri dan menyusul Adhel kebelakang gedung. “Dhel, kita tau lo trauma, kita tau lo masih takut, tapi ga harus kaya gini juga Dhel.” Indri duduk disamping kanan Adhel dan merangkul Adhel . “Kalau seandainya orang itu ngeliat lo ngebuang bunga mawar itu, dia pasti kecewa banget Dhel.” Tambah Susan yang duduk disebelah kiri Adhel. “Kecewa? Apa gue ngga lebih kecewa ketika cinta gue bertepuk sebelah tangan dan gue tau orang yang gue suka, gue kagumi itu udah punya cewe, dan satu-satunya orang yang bisa ngegantiin posisi orang yang gue suka sebelumnya itu ternyata juga udah punya cewe. Apa gue ngga lebih kecewa ketika gue berharap tapi ngga ada satu orang pun yang bisa ngasih harapan ke gue.” Adhel menarik nafas. “Asal kalian tau, gue sempet mati rasa dan air mata gue udah abis untuk mereka. Sekarang gue ngga mau ngeluarin air mata gue setetes pun untuk cowo yang ga penting kaya mereka!” Adhel mempertegas. Kedua sahabatnya tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Susan dan Indri bersandar dipundak Adhel dan mengelus punggung Adhel. Persahabatan adalah suatu penangkal yang ampuh untuk   segala malapetaka (Seneca).

Waktu pun terus berjalan hingga pada saatnya Ujian SNMPTN pun akan tiba. Ujian SNMPTN diadakan di tiap-tiap sekolah ternama di kota tempat mendaftar SNMPTN secara online. Adhel mendapat bagian disebuah sekolah swasta di Bogor. Hari ini adalah hari terakhir bimbingan belajar, senang, sedih berpisah dengan teman-teman bercampur aduk. Namun inilah awal dari perjuangan masa depan yang harus dijalani. “Hey, lo di SMA Kesatuan kan tesnya?” Tanya Seorang lelaki yang berada dibelakang Adhel dan menepuk pundak Adhel. Adhel pun menoleh kebelakang dan melihat siapa yang menepuk pundaknya dan bertanya padanya. Dia adalah Dani teman sekelas Adhel ditempat bimbingan belajar itu. Adhel pun tersenyum, “Iyah gue di Kesatuan tesnya, kenapa?” Tanya Adhel. “Sama dong gue juga. Lo udah tau belum SMA Kesatuan dimana.” Tanya Dani lagi. “Serius lo sama kaya gue? Yeeeee gue ada temennyaaaa.” Adhel jingkrak-jingkrak. Dani hanya tersenyum melihat tingkah Adhel. “Eh udah tau belum tempatnya dimana?” Dani kembali bertanya. “Tau doong, emang lo belum tau?” Jawab Adhel tengil. “Belum..” Dani tertawa. “Lah? Kan tesnya besok masa lo belum tau tempatnya?” Adhel keheranan. “Ada lo ini, lo besok jadi penunjuk jalan gue aja. Gimana?” Dani menawarkan diri. “Hah? Maksudnya bareng gitu?” Adhel belum mengerti maksud Dani. “Iyalaaaah..” Dani kembali tertawa. “Oh yaudah iyah.” Adhel langsung menyetujui dan tersenyum. “Gue balik duluan yak, belajar yang rajin lo.” Berjalan dan menepuk pundak Dani. Dani hanya tersenyum dan terus memandang kearah Adhel yang semakin lama semakin tak tampak. Setelah Adhel berada dalam angkot, Adhel baru sadar dan dalam benaknya berkata, “Kalo besok bareng, kenapa gue ngga minta nomernya aja yah supaya bisa kontek-kontekan.” Tak lama handphonenya berbunyi. Dan setelah dilihat ada pesan baru dari nomer yang tidak dikenal yang tidak ada dikontaknya. “Besok berangkat jam6 yah J Tanpa memberi nama, Adhel pun tahu bahwa itu adalah Dani. “Nih orang dapet nomer gue dari siapa yah? Aneh banget.” Adhel pun kembali berbicara dalam benaknya. “Siiip, entar lo tunggu aja ditempat bimbel, janjian disana aja.” Isi sms dari Adhel pada Dani. “Siip J” Balas Dani lagi.

Keesokan harinya, ketika Adhel sudah rapi dan berpamitan pada kedua orang tuanya, Adhel pun berangkat. “Assalamu’alaikum” Adhel menutup pintu depan dan berjalan menuju gang depan rumahnya. “Wa’alaikumsalam, hati hati dan jangan lupa baca doa yah.” Tegas bunda. “Iya bund.” Jawab Adhel sambil terus berjalan. Setelah sampai gang depan rumahnya, Adhel terkejut melihat Dani yang sudah stay disitu entah sejak kapan. “Hey, kok lo bisa ada disini? Kan kemaren gue bilang….” Belum sempat Adhel menyelesaikan pembicaraannya, Dani memotong pembicaraan Adhel “Udah ayo naik takut telat.” Sambil menyalakan motornya. “Heeemmm.” Adhel pun naik kemotor Dani. Sepanjang perjalanan diisinya dengan tawa dan candaan, selalu saja ada bahan yang dijadikan ledekan yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka pun sempat nyasar karena Adhel salah menunjuk jalan, namun pada akhirnya mereka sampai tempat tujuan. Mereka pun mengikuti tes dengan serius dan bersungguh-sungguh. Waktu empat jam pun berlalu. Mereka keluar kelas, “Duuuuh gue pusing.” Adhel mengeluh. “Semangat dooong, satu hari lagi nih tinggal besok doang. Semangat-semangat.” Dani memberi semangat. “Iyah iyaaaaah.” Adhel duduk disebuah bangku dengan lemas. “Mending sekarang ikut gue yuk.” Ajak Dani. “Kemana? Kan besok masih ada tes.” Adhel ragu menerima ajakan Dani. “Bentar doang kumpul sama temen-temen SMA gue.” Bujuk Dani. “Eeemmhhh, yaudah deh.” Mereka pun berangkat.

Disana, Adhel dikenalkan pada teman-teman Dani. Ada satu sosok lelaki yang membuat Adhel terpana, namanya Aji. Pandangan Adhel pada Aji sama seperti pandangan Adhel dengan Dodhi dulu. Namun kali ini Adhel tak berani untuk mendekati Aji, karena Adhel masih takut untuk dekat dengan seorang lelaki. Setelah berjam-jam berbagi cerita dengan candaan dan tawa, Adhel pun pulang. Namun Adhel tidak ingin diantar oleh Dani karena Adhel akan dijemput oleh sepupunya, Fahmi. Sungguh malang nasib Adhel, dalam perjalanan bersama Fahmi, ketika itu Fahmi hendak menyalip sebuah mobil yang ada didepannya dari arah kiri lalu mengambil arah kanan setelah menyalip. Tak disangka dari arah kanan ada sebuah mobil yang juga menyalip mobil itu lalu mengambil arah kiri setelah menyalip. Kecelakaan pun tak dapat dihindari. Adhel mengalami luka yang cukup parah sehingga Adhel tak bisa mengikuti tes hari kedua. Pupuslah harapan Adhel untuk bisa membahagiakan orang tuanya dengan masuk Universitas yang orang tuanya dambakan. Adhel hanya bisa menangis, orang tua Adhel berusaha untuk memberi semangat pada Adhel. “Kalau kamu mau, masih ada jalur mandiri Dhel.” Ayah menenangkan Adhel. Adhel pun diam sejenak dan berpikir. “Ayah, maaf sebelumnya, mungkin ini memang jalan Adhel. Apa Adhel boleh minta satu hal sama ayah?” Adhel kembali meneteskan air matanya. “Silahkan saja, kamu mau apa?” Jawab ayah tenang. “Aku mohon sama ayah, beri aku kebebasan untuk bisa memilih Universitas dengan fakultas yang aku minati, demi menggapai cita-cita aku yang sebelumnya sempat aku kubur dalam-dalam hanya demi membahagiakan ayah dan bunda.” Bunda langsung mendekap erat anak semata wayangnya itu. “Maafkan bunda sama ayah nak, awalnya bunda hanya khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Bunda sama ayah kaya gini karena bunda sama ayah sayang sama kamu.” Bunda ikut menangis. “Yasudah mulai sekarang ayah membebaskan kamu. Maafkan ayah selama ini terlalu menekan kamu, ayah terlalu egois dengan kemauan ayah tanpa memikirkan perasaan kamu. Sekarang kamu mau masuk mana Dhel?” Ayah duduk disamping Adhel. Adhel tersenyum dan memeluk ayahnya. “Ngga apa-apa kok kalopun Adhel masuk swasta, yang penting Adhel bisa masuk fakultas psikologi yah.” Pinta Adhel. “Baiklah kalau begitu, ayah akan masukin kamu ke Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta, nanti kamu ngekost disana. Tapi ingat, tetap fokus belajar dan tetap jaga diri.” Dengan bijaknya ayah memberi nasihat pada Adhel. Bunda hanya tersenyum dan meneteskan air mata haru. “Hati-hati disana yah sayang, bunda percaya sama kamu.” Lanjut bunda. “Baik bunda, ayah. Aku ngga akan ngecewain ayah sama bunda.” Adhel tersenyum dan bersemangat kembali.

Adhel ditemani oleh kedua orang tuanya untuk mendaftar di Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta. Sesampainya disana, “Ayah sama bunda tunggu dimobil aja, biar Adhel yang daftar sendiri, kan sekarang Adhel udah jadi mahasiswi.” Pinta Adhel dengan manja. “Mahasiswi tapi masih manja, hayooo?” Ledek bunda. “Yaudah sana, belajar mandiri.” Bunda dan ayah tersenyum melihat tingkah anaknya. Adhel pun membuka pintu mobil dan berjalan menuju ruang pendaftaran. Adhel bertemu dengan sesosok lelaki yang familiar dengannya yang rupanya juga sedang mendaftar disitu. Adhel pun menghampiri lelaki itu dan memastikan bahwa ia tak salah orang. “Aji?” Sapa Adhel agak sedikit ragu. Lelaki itu terkejut, “Adhel? Ngapain disini?” Aji memancarkan wajah yang berbinar-binar seolah amat senang melihat Adhel, seketika Adhel pun menjadi gugup tak karuan mengingat Adhel memang sempat suka dengan Aji. “Emh ini, gue mauuuuu ini, mau daftar hehehe.” Jawab Adhel salting. “Ouuuh sama dong berarti.” Aji tersenyum. “Hah? Serius lo daftar disini juga? Lo mau ngambil fakultas apa?” Adhel sangat senang mengetahui ia akan satu Universitas dengan Aji. “Gue mau ngambil teknik arsitektur, lo ngambil apa?”  Tanya Aji. “Wuiiiiiih, gue ngambil psikologi.” Jawab Adhel sambil terus menyembunyikan kesaltingannya. “Keren tuh, jadi nanti kalo ada apa-apa gue mau curhat aja sama lo. Gratis kaaan?” Sambil tertawa. Dalam benak Adhel berkata, ”Lo jadi cowo gue juga ngga apa-apa.” Tanpa Adhel sadari, ia sedang senyam-senyum sendirian. “Adhel? Lo baik-baik aja kan?” Aji melambaikan tangannya pada wajah Adhel. Namun Adhel belum juga sadar. “Adheeeel…” Aji memegang kedua pundak Adhel dan menggerakan pundaknya itu seraya menyadarkan Adhel dari lamunannya. Adhel pun sadar. “Ah iya? Apa? Eeemmhh ayo daftar.” Adhel mengalihkan pembicaraan. “Lucu banget sih lo haha, yaudah ayo masuk.” Mereka pun masuk keruang pendaftaran. Setelah usai mendaftar, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. “Eh kalo mau, entar tesnya bareng aja.” Ajak Aji. “Hah? Boleh-boleh.” Dengan senang hati Adhel menerima ajakan dari Aji. “Sekarang lo pulang sama siapa? Apa mau bareng juga?” Aji kembali mengajak Adhel. “Ouh gausah makasih, gue kebetulan kesininya sama orang tua gue. Ini sekarang gue mau keparkiran.” Jawab Adhel. “Ouh sama orang tua lo, bawa mobil?” Adhel hanya mengangguk dan tersenyum. “Kebetulan gue juga bawa mobil, jadi bareng aja keparkiran mobilnya.” Mereka pun keparkiran mobil. Aji bertemu dengan orang tua Adhel. Disapanya dengan sopan dan mencium tangan kedua orang tua Adhel. Sungguh kesan pertama yang membuat kedua orang tua Adhel menyukai Aji. Setelah berbincang-bincang, Adhel dan kedua orang tuanya pun pulang. “Lumayan tuh Dhel.” Ledek bunda. “Nah cari pacar itu yang sopan kaya gitu Dhel.” Lanjut ayah. “Oh iyah, sekarang kan Adhel udah mahasiswi yah, berarti Adhel boleh dong pacaraaaaaan… hahaha.” Adhel tertawa. “Iyaaah boleeeh…” Jawab bunda. “Asiiiik dapet surat izin pacaran hahahaha…” Adhel kembali tertawa. Ayah hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya itu.

Waktu terus berjalan, hubungan Aji dan Adhel semakin dekat. Mereka mengikuti tes bersama. Mereka pun diterima di Universitas itu. Sama-sama ngekost, tak jarang mereka makan berdua, Aji juga sering kali menjemput Adhel dikostan Adhel untuk berangkat kuliah bersama. Mereka pun menghabiskan waktu bersama. Hingga tiba saatnya Aji menyatakan perasaannya pada Adhel. Aji adalah lelaki yang cuek, sehingga pernyataan cinta yang ditujukan pada Adhel seolah biasa saja. Namun itu tak mengubah perasaan Adhel, karena memang Adhel menyukai lelaki yang cuek. Tanpa berpikir panjang, Adhel pun menerima cinta Aji. Sungguh hari-hari yang menyenangkan nan indah yang mereka lalui berdua. Orang tua Adhel dan Aji sudah mengetahui hubungan mereka, Adhel sudah pernah dibawa Aji kerumahnya. Hubungan keluarga yang semakin akrab telah dijalin keduanya.

Satu tahun pun berlalu, Aji adalah lelaki pertama yang memiliki hubungan paling lama dengan Adhel, karena memang Adhel kini telah berubah, sifat bosan yang dulu sering dialaminya telah hilang seiring dengan apa yang telah terjadi pada Adhel sebelumnya. Saat-saat dimana orang-orang sibuk mendaftar pada Universitas yang diminatinya. Ketika itu Aji dan Adhel hendak bernostalgia dengan melihat orang-orang yang akan mendaftar di Universitas tempat keduanya menimba ilmu. Tempat dimana Aji dan Adhel dipertemukan hingga dapat menjalin sebuah hubungan. Tak disangka-sangka mereka bertemu dengan Dani. Dani amat terkejut dengan keakraban Adhel dan Aji. “Kalian?” Dani keheranan. “Hey Dan, sorry yah gue ngga pernah ikut kumpul lagi sama kalian dan anak-anak, soalnya gue sibuk kuliah.” Sapa Aji. “Apa kabar lo Dan?” Lanjut Adhel. “Baik, kalian kok bisa ada disini?” Tanya Dani seolah tidak suka dengan kedeketan mereka. “Iyah kita satu Universitas disini dan….” Adhel memotong pembicaraan Aji “Dan kita udah jadian sejak setahun yang lalu.” Adhel menggenggam tangan Aji. “Kalo aja lo waktu itu ngga ngajak gue buat ketemu sama temen-temen lo, mungkin gue sama Ajii…” Dani memotong pembicaraan Adhel “Emh gue masuk dulu yah, gue mau daftar.” Menundukan kepala dan masuk keruang pendaftaran. “Dan.. Daniii!” Aji memanggil Dani, namun Dani tak menoleh sedikit pun. “Loh kenapa yah dia? Kok aneh banget.” Tanya Adhel pada Aji, Aji hanya menggelengkan kepalanya. Aji pun mencari tahu mengapa Dani bersikap seperti itu. Mulai dari bertanya pada teman dekat Dani hingga mencari tahu pada blog Dani. Dan ternyata Dari awal Dani bertemu dengan Adhel, Dani sudah menyukai Adhel, bahkan Dani sering mencari tahu tentang Adhel, mulai dari barang kesukaan, rumah Adhel, nomer handphone. Bahkan ketika Adhel tampil pada perpisahan SMA, Danilah yang memberi bunga pada Adhel. Karena pada saat itu Dani mengetahui bahwa Adhel membuang bunga pemberiannya, dan Dani juga mengetahui bahwa Adhel masih trauma untuk dekat dengan lelaki, maka dari itu Dani tidak memberanikan dirinya untuk mendekati Adhel.

Dani ternyata juga tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri, ia pun berniat untuk bisa satu Universitas dengan Adhel di Perguruan Tinggi Swasta, namun karena pada saat itu Dani belum memiliki uang cukup dan ia tak ingin membebani orang tuanya, akhirnya Dani fokus bekerja selama satu tahun demi menggapai apa yang diimpikannya dengan hasil keringatnya sendiri. Mengetahui hal ini, Aji terkejut bukan main. Ia langsung berdiam diri dan termenung. “Kenapa gue baru tau sekarang yah?” Gumam Aji. Handphone yang ada digenggamannya dipegangnya erat. Lalu ia membuka handphonenya dan mengambil kartu sim yang selama ini dipakainya. Dipatahkannya kartu sim itu demi menghilangkan jejak pada Adhel. “Maafin gue Dhel, gue sayang banget sama lo, tapi gue ngga bisa ngebiarin temen gue sakit hanya karna gue.”

Semua curahan hati Dani di blog telah dicopy dan diprint olehnya, lalu dimasukannya kedalam amplop hingga menyerupai sebuh surat, lalu ia melampirkan semua curahan hatinya, dimana ia lebih memilih untuk pergi meninggalkan Adhel demi menjaga perasaan Dani. Ia menyuruh orang untuk menaruh amplop itu didepan kamar kostan Adhel. Setelah surat itu sampai, dan Adhel membukanya, air mata Adhel tak terbendung. Adhel menggelengkan kepalanya seolah tak percaya dengan semua yang telah terjadi. “Ini ngga mungkiiiiin.” Air mata Adhel mulai membanjiri pipinya. “Ngga mungkin… gue ngga bisa nerima semua iniiii.” Adhel pun berkali-kali mencoba menelpon Aji namun nomor handphone Aji tak juga bisa dihubungi. Adhel pun bergegas kekostan Aji. Namun sesampainya disana, dia melihat ibu kost sedang mengunci pintu kamar Aji. “Ibu maaf, kok ibu yang ngunci pintu kamar Aji?” Tanya Adhel keheranan. “Iya kan Ajinya udah keluar neng.” Jawab ibu kost itu. “Keluar? Keluar maksudnya udah ngga ngekost disini lagi?” Tanya Adhel lagi. “Iya neng, Aji udah ngga ngkost disini lagi.” Ibu kost itu tersenyum pada Adhel. Adhel mulai meneteskan air matanya. “Kamu kenapa?” Tanya Ibu kost. “Ngga apa-apa kok bu, makasih yah. Saya mau pamit pulang aja.” Adhel menghapus air matanya lalu menarik nafas dan meyakinkan ibu kost bahwa dirinya baik-baik saja. “Yasudah hati-hati yah neng.” Adhel pun pergi.

Semenjak itu Adhel sudah kehilangan jejak Aji. Entah Aji ada dimana, namun Adhel tetap belum bisa melupakan Aji, sebab hanya dengan Aji lah Adhel mampu bertahan hingga satu tahun. Adhel juga tak ingin sekalipun bertemu dengan Dani, meski sebenarnya Dani juga tidak sepenuhnya salah. Karna memang pada kenyataannya cinta tak pernah salah. Cinta datang begitu saja dengan mudahnya, namun sangat sulit untuk bisa menghilangkan rasa cinta itu sendiri. Ketiganya sama-sama merasakan sakit yang amat dalam. Tapi setidaknya disini mereka mengerti apa arti cinta sesungguhnya. Engkau tak akan mengenal makna cinta yang sesungguhnya saat kau jatuh cinta (Firance Dinesh) melainkan ketika kita terjatuh dalam lubang terdalam. Cinta yang abadi sesungguhnya datang pada orang tua dan seorang sahabat, atau pada lelaki yang akan menjadi seorang imam kelak.

Cerpen Sayap-Sayap Kecil

Standar

Sayap-sayap Kecil

Cerita ini berawal dari perjuangan seorang ibu yang akan melahirkan putri sulungnya. Ibu Asih, kerap mereka memanggilnya. Ibu Asih melahirkan tanpa didampingi suaminya. Suaminya sedang merantau dipulau Lombok, tepatnya diMataram. Dengan gaji sebesar 200.000,00/bulan, tentu itu tidak dapat mencukupi kebutuhan dirinya dan istrinya yang berada jauh diKota Bogor. Maka, untuk biaya persalinannya, ibu Asih dibantu oleh saudara-saudaranya.

Ketika itu, adzan subuh berkumandang. Tepatnya pada tanggal 17 Februari, lahirlah seorang anak yang diberi nama Diandra Thiyarie Permata. Seorang anak perempuan yang lahir dengan kulit yang amat putih bersih layaknya kapas, namun terlahir tanpa didampingi seorang ayah. Dalam keadaan yang masih sangat lemah, Ibu Asih pun mendekap erat Diandra yang sudah dibersihkan dari lumuran darah dengan penuh kasih sayang hingga meneteskan air matanya.

Hari-hari pun berlalu, ibu Asih tinggal bersama ayah dan ibunya. Agar tak malu karena menumpang, tiap pagi ibu Asih mencucikan baju ayah dan ibunya disungai. Dan selama ibu asih mencuci disungai, Diandra diasuh oleh neneknya. Nenek sangat menyayangi Diandra. Tak jarang nenek membawanya kepasar Ciampea untuk berbelanja.

Usia Diandra kini genap 4 bulan, ayahnya berniat untuk mengunjungi anak dan istrinya diBogor. Pagi itu, entah mengapa Dia tiba-tiba kejang-kejang. Semua panik,  bahkan salah satu kakak ibu Asih berkata berkata “Jangan-jangan ketika ayahnya datang, kita sedang mengubur.“ Mendengar itu ibu Asihpun menangis seolah tak ingin kehilangan. Datanglah kakak pertama ibu Asih dengan hanya memakai handuk, “Ayo cepat bawa Dia kerumah sakit!” beliau sudah tak peduli akan pakaian yang dikenakan, yang ada difikirannya hanyalah bagaimana Dia bisa selamat. Sampailah mereka disebuah rumah sakit diBogor. Untunglah Dia masih bisa diselamatkan. Ibu Asihpun kembali memeluk erat putrinya dengan penuh kasih sayang “Ini adalah kesempatan keduamu untuk membuka matamu didunia ini nak. Janganlah kau sia-siakan semua ini, dan tunjukan pada dunia bahwa kau mampu dan kau bisa.”

Setelah itu mereka pun pulang.

Tak lama, ayah Dia datang. Tapi semua itu tak berlangsung lama. Hanya beberapa minggu saja. Lalu, ayahnya kembali lagi keMataram.

Suatu ketika, ibu Asih sedang menyapu halaman. Ada seorang tetangganya yang lewat sambil menggendong anaknya. Ibu Asihpun berhenti menyapu, “Habis darimana bu?” tanya ibu Asih. “Habis imunisasi.” Jawab ibu tersebut. “Memang berapa harganya bu?” tanya ibu Asih lagi. “75.000,00, bu saya pulang dulu ya, anak saya nangis” jawab ibu tersebut dengan sopan. “Oh, iya. Makasih ya bu.” Tersenyum. “Iya bu.” Tersenyum kembali. Ibu Asih terdiam sejenak, dalam hatinya berkata. “Ya Allah, aku tak ingin anakku terkena penyakit. Tapi, aku juga tak punya uang sebanyak itu untuk mengimunisasi anakku.” Ibu Asihpun pergi keBidan Yani dekat rumahnya. Bidan dimana tempat melahirkan Dia. Sesampainya disana, “Bu, saya ingin mengimunisasi anak saya, tapi saya tak punya uang.” Sambil meneteskan air matanya. “Begini saja, kumpulkan sepuluh orang yang ingin anaknya diimunisasi, lalu suruh mereka bayar 7.500, maka anak ibu bisa diimunisasi.” Jawab Bidan Yani bijak. Dengan semangat, ibu Asihpun mencari sepuluh orang ibu yang ingin anaknya diimunisasi. Tapi ibu Asih hanya mendapat tujuh orang saja. Ibu Asih sempat merasa kecewa dan ia kembali kerumah Bidan Yani. “Bu, saya hanya mendapat tujuh orang saja. Bagaimana ini bu?” Dengan muka memelas. “Tenanglah bu, saya akan membantu mencari tiga orang lagi. Besok kumpulkan saja tujuh orang itu.” Jawab Bidan Yani. “Terima kasih ya bu” sambil mencium tangan Bidan. “Sudah bu, ini sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu sesama.” Jawab Bidan Yani bijak.

Keesokan harinya, ibu Asih bersama tujuh orang ibu pergi kerumah Bidan Yani. Mereka membawa masing-masing anaknya. Begitu juga dengan ibu Asih yang membawa Dia. Disana, sudah terdapat tiga orang ibu yang dicari oleh Bidan Yani, hingga berjumlah sepuluh orang. Ibu Asih mengimunisasi anaknya tidak memakai biaya, melainkan hanya mengumpulkan orang yang tidak mampu yang ingin anknya diimunisasi. Dengan begitu, anaknya mendapat sisa vaksinnya. Begitulah terus-menerus perjuangan ibu Asih yang berusaha keras untuk mengimunisasi anaknya karena tak ingin anaknya terkena penyakit.

Tahunpun berlalu, kini Dia genap berumur dua tahun. Dia sudah bisa berjalan dan berbicara. Ayah Dia kini sudah sukses, beliaupun berniat untuk membawa anak dan istrinya untuk ikut keMataram. Setibanya dirumah, ayah Dia memberi Dia sebuah mainan. Dia yang sudah lancar berbicara dan tak mengenali ayahnya itu berkata, “Makasih om.” Mendengar itu, ayahnya pun sangat sedih hingga meneteskan air matanya. Ayahnya sangat sedih karena anaknya sendiri tak mengenalinya. Dengan bunda dan ayahnya, perlahan-lahan diberitahukan pada Dia. Hingga akhirnya Dia mengerti.

Diapun memulai hidup baru disebuah kota yang amat jauh dari kota kelahirannya. Dia adalah anak yang sangat cerdas. Karena ayahnya bekerja dikehutanan, dan memiliki banyak buku-buku tentang satwa-satwa yang ada dihutan, khususnya burung. Diapun mulai diperkenalkan dengan satwa-satwa tersebut. Hingga akhirnya dia mampu menghafal semua jenis burung-burung. Dari situlah Dia sangat menyukai burung terutama burung merpati putih.

Kini Dia duduk dibangku kelas 3 SD, disebuah sekolah favorit diMataram. Dia adalah seorang anak yang cerdas, selalu mendapat prestasi dalam bidang apapun, Dia juga sangat cantik dan guru-guru selalu memuji dan memanjanya. Karena itulah teman-temannya banyak yang merasa iri hingga memusuhinya.

Suatu hari disekolah Dia kedatangan murid baru. “Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru, pindahan dari Bandung. Perkenalkan dirimu nak!” sambil tersenyum. “baik bu.” Jawab anak itu sopan. “Nama saya Agam Cakra Nanggala, panggil aja Agam.” Bu Amypun mempersilahkan Agam untuk duduk dengan Dia, karena dia duduk sendiri. “Nama kamu siapa?” tanya Agam. “Dia.” Tersenyum. Merekapun melanjutkan pelajaran. Tak terasa belpun berbunyi, merekapun pulang.

Keesokan harinya, seperti biasa sebelum masuk kelas, murid-murid berbaris didepan kelas. Namun hari ini ada pemeriksaan kuku mendadak. Siapa saja yang berkuku panjang, akan dipukul tangannya dengan penghapus papan tulis yang terbuat dari kayu. Diapun panik karena ia belum menggunting kukunya. Hingga ada salah satu temannya yang membawa gunting kuku, namun Dia ragu untuk meminjamnya, karena temannya pasti tak akan meminjamkannya gunting kuku. Dengan perlahan, Dia mendekati Aya. “Ya, aku boleh pinjem gunting kuku ngga?” Tanya Dia.  “Bentar, aku masih pake.” Jawab Aya ketus. Dia hanya bisa berdiam diri dan menunggu gunting kuku yang sedang dipake Aya. Setelah Aya selesai memakai gunting kuku, “Wulan!!” Aya memanggil Wulan. Wulan menghampiri. “Nih!” memberi Wulan gunting kuku. Wulanpun mengambil gunting kuku yang diberikan Aya. “Ya, kan aku duluan yang pinjem, kok kamu malah ngasih keWulan?” Tanya Dia sabar. “Ya tersera aku dong, kan aku yang punya, kalo kamu ngga terima ya udah ngga usah pinjem.” Ketus Aya. “Ya udah, tapi aku abis Wulan yah?” pinta Dia. “Ya udah.” Jawab Aya. Namun, setelah Wulan selesai menggunakan gunting kuku, lagi-lagi gunting kuku itu tidak diberikan pada Dia, melainkan pada temannya yang lain. Hingga akhirnya, kini waktunya Dia untuk diperiksa kuku. Diapun maju dan menyodorkan tangannya sambil menundukan kepala. “kenapa belum diguntingin kukunya?” Tanya bu Amy bijak. Namun Dia tak menjawab apa-apa, Dia hanya  bisa membisu, airmatanya sudah membendung dimatanya. Bu Amy melepas tangan Dia tanpa harus memukulnya. “masuk.” Sambil tersenyum. Diapun terkejut dan membalas senyuman bu Amy. Murid-murid lain melihat kearah Dia dengan sinis dan semakin membenci Dia.

 

Dikelas..

“Anak-anak hari ini ibu akan memberikan tugas kelompok dan ibu yang akan membagi kelompoknya.” Tegas bu Amy. “Silahkan tulis nama kelompoknya, Diandra, Aya, Dany dengan Agam. Lalu Wulan, Tina, Adjie dengan Vino. Selanjutnya, Tari, Desy, Danang dengan Dara. Dan yang terakhir, Maya, Lukas, Arvan dengan Putri. Silahkan kalian duduk menurut kelompoknya masing-masing. Ibu harap tidak ada yang protes atas pembagian kelompok ini. Kalian kerjakan tugas Bahasa Indonesia halaman 75.” Lanjut bu Amy. Murid-muridpun duduk berdasarkan kelompoknya masing-masing. Dany adalah seorang anak yang amat manja dan cengeng. Ketika Dia dan anak-anak yang lain sedang asyik mengerjakan tugas, tiba-tiba Dany menangis sambil memegangi telapak tangan kanannya. Semua terkejut dan bertanya-tanya, terutama Dia yang kebetulan pada saat itu duduk disamping Dany. Bu Amypun menghampiri. “Ada apa Dany?” Bu Amy penasaran. Dany tetap menangis, dan hanya menunjukan telapak tangannya yang sudah bolong kecil karena terusuk pensil. “Siapa yang melakukan ini?” Tanya bu Amy tegas. “Dia bu!!” Tuduh Aya sambil menunjuk kearah Dia. “Bukan bu, Dia ngga tau apa-apa.” Dia membela diri. “Dany, siapa yang melakukan semua ini?” Tanya bu Amy lagi, “Dia bu.” Jawab Dany tersedu-sedu. “Tapi bu, Dia ngga tau apa-apa.” Dia ketakutan. “Dia, ikut ibu kekantor.” Bu Amy berjalan kedepan kelas. “Yang lain, lanjutkan pekerjaannya.” Tegas bu Amy. Lalu keluar kelas menuju kantor. Diapun mengkuti dibelakang.

 

Dikantor

“Bu, Dia ngga ngelakuin itu.” Mulai meneteskan air matanya. “Ibu tau, kamu anak baik-baik. Tapi kenapa Dany bilang kalau kamu yang melakukannya?” bu Amy bijak. “Tapi Dia ngga tau apa-apa bu. Dia mohon, ibu percaya sama Dia. Dia ngga mungkin ngelakuin hal itu bu.” Menatap mata bu Amy. Bu Amy menarik nafas “Ya, ibu percaya sama kamu. Ibu berharap tidak ada lagi masalah seperti ini.” Dia pun berhenti menangis dan menghapus air matanya. “Ya bu.” Tersenyum. “Ya sudah. Kembali kekelas.” Bel istirahatpun berbunyi. Diapun berlari kekelas. Namun, dari arah yang berlawanan ada anak laki-laki yang juga berlari kencang, merekapun bertabrakan. Dia terjatuh. “Aduh..” Keluh Dia. Dan ternyata laki-laki yang menabraknya itu adalah Agam. “Maaf, maaf. Aku ngga sengaja.” Diapun berdiri. Dan tak menghiraukan permohonan maaf Agam. Dia berjalan terpincang-pincang karena lututnya luka. Agam sangat merasa bersalah. Hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Merekapun pulang.

Setibanya dirumah. “Dia, lutut kamu kenapa sayang?” Tanya bunda. Dia tak menjawab apa-apa dan langsung kekamarnya. Lalu mengunci pintu kamarnya. “Kenapa sih mereka jahat banget sama aku? Aku salah apa?” sambil menangis. Bunda mengetuk pintu. “Sayang, makan dulu yuk!” ajak bunda. Diapun menghapus air matanya. “Bentar bund.” Jawab Dia. “Bunda tunggu diruang makan ya sayang.” Lalu berjalan keruang makan. Tak lama, Dia menyusul. Diapun duduk. “Ada masalah apa Dia?” Tanya ayah. “Ngga ada masalah apa-apa kok yah.” Jawab Dia. “Terus, lutut kamu itu kenapa?” Tanya ayah lagi. “Tadi dia jatuh disekolah yah.” Jawab Dia enteng. “Ya sudah, tapi lain kali harus lebih hati-hati lagi ya.” Merkapun makan.

Keesokan harinya, “Dia, bangun. Udah siang, tar terlambat lho sekolahnya.” Bunda membangunkan Dia. “Libur bund.” Dia menarik selimut dan melanjutkan tidurnya. “Libur? Libur kenapa?” Tanya bunda. “Gurunya rapat bund.” Jawab Dia. “Rapat?” bunda mengerutkan alisnya. Ayahpun menghampiri “Ada apa lagi bund?” Tanya Ayah. “Katanya guru-gurunya rapat.” Keheranan. “Ya sudah lah bund, Ayah berangkat dulu ya.” Bunda mengantarkan ayah kedepan.

Setelah menjelang siang, Diapun bermain sepeda dan bermain masak-masakan bersama tetangganya. Dia bermain dirumah kosong dekat rumahnya. Didekat situ juga terdapat lapangan yang suka dipakai olahraga sekolah Dia. Saat itu, adalah jadwal kelas 5 yang berolahraga. Ketika Dia sedang bermain masak-masakan, kakak Dia menghampiri. “Kakak boleh minta airnya ngga?” pinta kakak kelas Dia yang bernama Gaby. Karena menurut Dia air yang sedang dipakai itu adalah air kotor yang diambil dari air keran dari rumah kosong itu, Diapun tak member air itu. “ih, ngga ah.” Jawab Dia. Gaby sempat memaksa, tapi Dia tak juga member air itu. Hingga akhirnya Gaby marah dan pergi. “Dia, kenapa ngga dikasih aja? Tanya Tissa, teman Dia. “Air ini kan kotor.” Jawab Dia. “Biarin, dari pada dia marah. Itu kan kakak kelas kamu, ntar kalo kamu diapa-apain disekolah gimana?” Tissa khawatir. Diapun bergegas pulang. “Dia!!!!” panggil Tissa. Dia tak menghiraukan.

Dirumah, bunda sudah menunggu Dia didepan pintu. “Bunda ngga nyangka kamu tega ngbohongin bunda.” Tegas bunda. “Maksud bunda apa?” Dia keheranan. “Hari ini guru kamu ngga ada yang rapat sampai sekolah diliburkan!” bunda mulai emosi. Dia tak mampu untuk menjawab apa-apa. “Kenapa kamu sampai berbohong?” Tanya bunda. “Bunda ngga tau apa-apa!” bergegas kekamar dan langsung mengunci pintu. “Dia!” Dia tak menghiraukan. Dia ada dibalik pintu kamar. Duduk dan menangis. “Bunda ngga pernah tau gimana Dia.” Dia menangis. “Gimana bunda bisa tau kalo kamu ngga pernah cerita. Buka dulu pintunya Dia.” Ayahpun dating. “Ada apa ini bund?” Tanya ayah. “Dia bohong yah, sekolahnya ngga libur.” Jawab bunda. “Mungkin Dia lagi ada masalah bund, biarkan saja Dia tenang dulu. Lusa, ayah akan ajak Dia kekantor ayah. Biar Dia bisa melihat burung-burung kesukaannya. Dan Dia juga akan ayah kenalkan dengan anak teman baru ayah pindahan dari Bandung, Dia pasti senang.” Ayah bijak. Ayah dan bundapun meninggalkan kamar dia.

Hari ini, mau tidak mau Dia harus sekolah karena Dia tak punya alasan lagi untuk tidak sekolah. Benar saja kata Tissa kemarin, hari ini sepulang sekolah, Dia dilabrak oleh kakak kelasnya, Gaby. “Eh, anak pelit!!!” menghampiri Dia. Dia hanya menarik nafas. Gaby mendorong pundak Dia. Spontan, Dia melawan. Melihat perlawanan Dia, Gaby makin kesal dan makin menjadi-jadi. Gaby yang lebih tinggi dan lebih besar postur tubuhnya tentunya dapat dengan mudah menang dalam perkelahian ini. Diapun pulang dan menangis. Setibanya dirumah, bunda sangat terkejut melihat anaknya menangis dan pakaian yang sangat kotor. “Dia? Kamu kenapa nak?” Bunda khawatir. Namun Dia tak menjawab. Dia selalu tertutup pada kedua orang tuanya.

Seperti janji ayahnya, Diapun diajak kekantor ayahnya. Sesampainya disana, “Ayah akan memperkenalkan kamu dengan teman baru ayah. Katanya dia juga akan membawa anaknya, nanti kamu bisa berkenalan dengan dia.” Kata ayah. Tak lama, teman ayah datang. “Pak!!” sapa orang itu. Merekapun berjabat tangan. “Ini anaknya pak?” Tanya ayah. “Oh, iya pak. Agam, ini anaknya teman ayah, ayah harap kamu dapat berteman baik dengannya.” Ayah Agam bijak. Agam dan Aya terkejut. “Aku udah kenal yah.” Jawab Dia enteng. “Oh ya? Bagus dong. Ya sudah, ayah tinggal dulu ya. Kalian main saja dulu.” Ayah Agam dan ayah Dia beranjak pergi. Diapun melangkahkan kakinya. “Dia, kamu mau kemana?” menghentikan langkah Dia. “Emang kenapa?” Tanya Dia. “Ya kan aku baru disini, jadi aku ngga tau tempat ini.” Jawab Agam. “Ya udah, kamu ikut aja.” Dia cuek. Merekapun pergi kesebuah bukit yang pemandangannya amat indah. Disana juga terdapat banyak burung-burung beterbangan, “indah banget!” Agam kagum. Merekapun duduk disebuah bebatuan. “Sebelumnya aku mau minta maaf masalah waktu aku nabrak kamu sampai kamu jatuh, pasti kamu sakit ya?” Melihat kearah Dia. Dia tersenyum manis, “Ngga apa-apa kok. Lupain aja. Aku udah biasa.” Agam mengerutkan alisnya. “Aku boleh nanya sesuatu ngga?” Tanya Agam. Dia tak menjawab apa-apa, hanya menoleh kearah Agam seolah itu adalah sebuah isyarat untuk jawaban apa. Agampun mengerti dan segera bertanya, “Kenapa sih aku ngga pernah ngeliat kamu sama temen-temen kamu disekolah? Kamu selalu menyendiri.” Dia menarik nafas dan mulai menjawab, “Kamu liat burung-burung disana. Ada ngga salah satu diantara mereka yang mencari makan atau bahkan terbang sendiri?” memandang burung-burung yang indah yang sedang beterbangan. Agam menggelengkan kepalanya. “Kamu bisa liat kan, burung aja ngga pernah sendirian. Dia selalu bersama teman dan sanak saudaranya.” Lanjut Dia. “Lalu?” Tanya Agam yang masih penasaran dan belum mengerti betul apa yang dimaksud Dia. “Begitu juga dengan aku, aku juga sebenernya ngga bisa dan ngga mampu kalo harus hidup sendiri tanpa seorang temen. Itu tu ngga enak banget.” Aya menunduk. Agam memegang pundak Dia bermaksud untuk menenangkan. “Terus kenapa mereka kaya gitu?” Tanya Agam lagi. “Tu dia, sampe detik ini aku ngga pernah tau kenapa mereka memusuhi aku. Aku pengen seperti mereka yang punya banyak temen. Dan temen-temen mereka melekat bagai sayap burung yang selalu setia kemana burung pergi, bahkan sayap-sayap itu dijadikan suatu hal untuk menopang hidup. Dimana jika tidak ada sayap, burung itu tak kan mampu menjalani hidup. Tapi kenapa sampe detik ini aku belum punya sayap-sayap itu?” Dia meneteskan air mata. “Sudah lah, lupakan semua hal yang telah terjadi. Semua kepaitan yang telah kamu alami.” Agam tersenyum. Diapun membalas senyuman Agam dan menghapus air matanya.

Mulai saat itu, Agam dan Dia bersahabat baik. Mereka selalu bersama. Bahkan ketika Dia dimusuhi oleh anak-anak lain, agam membela.

Tibalah tangga 17 Februari, Dia ulang tahun. Keluarga Dia dengan keluarga Agam berlibur bersama untuk merayakan ulang tahun Dia. Mereka pergi kesebuah pantai wisata. Dia dan Agampun mencari tempat dimana terdapat burung-burung beterbangan. “Dia, liat disana!” tunjuk Agam pada salah satu tempat yang terdapat banyak burung. “Ayo kita kesana!” Dia menarik tangan Agam. Merekapun memandangi burung yang beterbangan, bersenda gurau, dan tertawa lepas.

Namun semua itu, merupakan perpisahan karena ayah Dia akan dipindah keJogjakarta. Agam belum mengetahui hal ini. Ketika pulang berlibur, barulah ayah Agam memberitahu pada Agam, bahwa Dia dan keluarganya akan pindah. Agam terkejut bukan main. Agam bergegas kerumah Dia.

Setibanya dirumah Dia.

“Agam?” sapa Dia dengan senyuman. “Ada apa Gam?” lanjut Dia. “Kenapa kamu ngga bilang kalau kamu mau pindah?” Tanya Agam serius. “Kamu tau dari siapa?” Dia balik bertanya. “Jadi aku ngga boleh tau?” Air mata Agam berlinangan. Dia tak menyangka Agam bisa sesedih ini. “Aku ngga bermaksud buat nyembunyiin semua ini. Tapi aku ngga mau kamu sedih kaya gini.” Jawab Dia. “Terus kamu fikir dengan kamu ngga ngasih tau aku, aku ngga bakalan sedih, gitu?” Agam memojokkan Dia. “Ya, aku tau aku salah.” Dia menunduk menyesal. “Jadi kemaren itu adalah perpisahan?” Tanya Agam. Dia hanya mengangguk. “Aku kesini cuma mau ngasih ini.” Menyodorkan sebuah kalung yang bandulnya berbentuk sayap-sayap. “Selama ini kamu berharap ada yang menjadi sayap-sayap kamu, sayap yang selalu melekat pada diri kamu, bahkan menjadi penopang untuk hidup.” Dengan perlahan Dia mengambil kalung itu. “Sayap-sayap kecil.” Memandang mata Agam. “Susah banget buat dapetin sayap-sayap itu. Tapi……” meneteskan air matanya tak kuat berbicara. “Tapi setelah kamu dapetin itu…?” lanjut Agam. “Aku malah ninggalin sayap itu.” Lanjut Dia. “Ngga!!!” Ada sebuah suara dari belakang, dan ternyata itu adalah Tissa. “Sebuah sayap, pastinya akan selalu melekat pada seekor burung. Tapi, kamu disini bukan seekor burung, melainkan seorang peri kecil. Dan kamu memiliki sayap yang juga melekat dihati kamu.” Tissa mulai meneteskan air matanya. “Kalian sayap-sayap kecilku.” Tegas Dia. Diapun tersenyum. Agam dan Tissa ikut tersenyum. Lalu mereka bermain bersama untuk yang terakhir kalinya sebelum Dia pindah.

Keesokan harinya, Dia dan keluarganya pindah keJogjakarta, “Aku ngga akan pernah melupakan kalian sayap-sayap kecilku, meskipun kita jauh, tapi kalian akan selalu melekat dihati aku.” Memegangi bandul sayap dari kalung pemberian Agam. Dia memakai kalung pemberian Agam. Dan selalu menggunakannya setiap saat untuk mengingat Agam.

Etika Menulis di Blog

Standar

12 Etika Menulis Blog:

1. Menghargai dan menjunjung tinggi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dengan menghindari plagiarisme, pembajakan, dan selalu mencantumkan sumber setiap kali mengutip karya orang lain.
2. Tidak mendiskreditkan pihak lain dan selalu berkomitmen untuk menulis secara proporsional.
3. Tidak menampilkan tulisan atau gambar yang mengandung unsur pornografi.
4. Selalu berbagi pengetahuan dan kebaikan melalui blog masing-masing.
5. Tidak berprasangka dan hanya menulis berdasarkan fakta yang diyakini bisa dibuktikan serta tetap dengan menjunjung tinggi etika kesopanan dalam menulis.
6. Tidak melakukan spamming melalui kolom komentar.
7. Tetap menjaga kesopanan dan rasa saling menghormati dalam memberikan komentar pada blog yang dikunjungi.
8. Tidak melakukan hack pada website atau blog lain.
9. Tidak menampilkan tulisan atau gambar yang mengandung unsur SARA.
10. Menggunakan bahasa yang baik dalam menulis.
11. Tetap menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam menulis tetapi tidak melanggar hak-hak orang lain.
12. Bersedia meralat informasi yang telah ditulis dalam blog jika di kemudian hari terdapat kesalahan dalam memuat tulisan di blog.*

Sumber : http://wempi.staff.ub.ac.id/files/2012/07/Pelatihan-Blog-Karyawan-Printable-Version.pdf